Wednesday, 29 May 2013

#NgajakNikah

1. Jangan ngajak nikah via sms atau sosmed. Sebab perempuan suka banget dihargai.#NgajakNikah

2. Kalau via sms atau sosmed, kesannya tidak serius. Bisa jadi cuman ngetes. Kira kira jawaban si perempuan ya atau tidak #NgajakNikah

3. Lagi pula kalau ngajak nikah via sms, kita tidak bisa tahu pasti apa sms itu dari orangnya atau orang lain#NgajakNikah

4. Kalau mau ngajak nikah, secara sopan mungkin diajak bertemu tapi bawa mahram. Adik, kakak, atau teman dia. Tidak berduaan #NgajakNikah

5. Dengan bertemu, diajak nikah, perempuan akan tersanjung. Merasa dihargai dan dimuliakan. Serius pula #NgajakNikah

6. Kalau tatap muka, si perempuan mau nolak juga susah. Perkewuh orang jawa bilang. Bisa jadi langsung terima #NgajakNikah

7. Orang tua juga bakalan seneng, kalau ada lelaki yang gentle ngomong langsung walinya. Bukan via sms #NgajakNikah

8. Lagipula lelaki harus jantan. Berani memulai dan berani meminang. Tidak via sms.#NgajakNikah

9. Raih hatinya. Nanti dia akan berikan kesetiaannya dalam bingkai cinta yang indah. Menikah!#NgajakNikah

10. Karena kalau ngajak nikah via sms, itu tidak sopan, dan tidak menunjukkan kejantanan. #NgajakNikah

Ta'aruf

1. Taaruf baiknya yg sesuai syar'i, krn kayaknya bayak taaruf ala sinetron. Belum apa-apa sdh semobil berdua. 

2. Taaruf via orang yg amanah, tdk khalwat dan tdk sok akrab di awal ketemuan

3. Jadi pas taaruf, jgn panggil umi ama abi, kan belom halal. Ntar jadi umi dan abi prematur

4. Dua duanya kudu jujur, apa adanya jgn suka moles moles sesuatu yg enggak ada.

5. Kalo emang punya kelemahan, sampein ajah, mending calon tau dr kita drpd dr orlain.

6. Tanyain juga soal py penyakit apa, sebab kita jg musti siap mjd suami istri siaga. Siap berkorban apasaja

7. Soal keluarga dan kondisi keislaman, jg boleh ditanyakan. Sapa tau ortu si akhwat masih jauh dr islam

8. Tanyakan apa yg musti ditanyain, bebas, jgn rikuh, drpd nyesel

9. En jgn lupa, tanya, kenapa anda milih saya? Kalao karena fisik, takutnya cintanya ilang saat fisik tak lg indah.

10. Kalau ortu si calon masih jauh dr islam, siapin amunisi terbaik buat jadi da'i di rmh nya kelak.

11. Karena kita nggak hy menikahi si calon, tp juga menyatukan dua keluarga.

12. Kalau enggak manteb, jgn diterusin. Jgn menerima karena pekewuh atau rikuh ama sang ustad.

13. Tp sebelum mutusin keputusan, solat istikhoroh.

14. Tapi kalau udah mantab, masuk gigi lima, Ngebut!

15. Lamar dengan mantab, temui ortunya, sampaikan maksudnya, dan doa ke Allah agar diterima oleh bapaknya

16. Kalao ditolak, hembuskan nafas panjang, mundur sejenak, atur strategi kemudian hari.

17. Tapi kalo diterima, sujud syukur di tempat, yakinkan bahwa penerimaan ini nikmat terindah!
18. Segera rembug soal walimah, bukan mewahnya, tp berkahnya.

19. Rayakan walimah dengan barakah, undang anak yatim makan makan.

20. Siapin maharnya, tanya calon istri mau mahar apa. Kalo solihah, insya allah ga neko neko.

21. Masalah hari pernikahan, tdk perlu carinitung itungan jawa, semua hari baik.

22. Belajar ucapin lafad ijab ga ada masalah, biar lancar jaya. Tdk perlu diulang ulang.

23. Kalo udah selesai walimahan, syukur kpd Allah jangan sampai lupa.

24. Setelah itu malam pertama, solat dua rekaat, doakan istri sentuh ubun ubunnya

25. Kalo ga pernah pacaran, ga pernah dipegang cowo, semuanya akan malu malu. Gpp malah indah.

26. Sama suami masih panggil akhi, sama istri masih panggil ukhty, karena ga biasa dan masi malu.

27. Pegangan tangan yg pertama kali, setelah sekian tahun menahan hanya utk yg halal

28. Beda kalo udah biasa pacaran, sgl pegang dan sentuh dah biasa, nikah jadi hambar ga ada yg istimewa

29. Setiap bersama dgn suami, selalu hadir bayangan mantan mantan sebelumnya.

3o. Itu yg bakalan berat, gelisahnya bertumpuk tumpuk. Akhirnya mau ga mau harus mau. Adanya itu. Gimana lagi.

31. Maka berbahagialah mrk yg memulai dengan syariat dan melangsungkan nikah dgn syariah dan tenang krn nya

32. Selamat bagi para putri yg rela menunggu pangeran halal, drpd harus dicium oleh kodok kodok yg salah.

33. Kalao seorang benar benar kualitas putri, maka dia ga akan sembarangan milih pasangan hidup.

34. Mungkin akan ada banyak kodok yg bilang cinta dan sayang, tp ia akan menolak itu. Ia akan setia menunggu pangerannya.

35. Karena hanya pangeran halal yg akan memenangkan hatinya, karena shalihnya dan akhlaknya yg wow

36. Meski pangeran itu tak sewangi dan tak setampan kodok yg datang, tapi sang putri selalu tau apa yg dipilihnya

37. Kalo sama sama menjaga, semoga kelak bertemu di singgasana cinta, halal dan berkah. Pangeran dan putri nan bahagia.

38. Maka tetaplah istiqamah para putri solihah, tunggulah pangeranmu datang melamarmu baik baik, bukan mjd kodok yg memacarimu saja.

39. Duhai para pangeran, tunjukkan niat baikmu dgn melamarnya ke ortunya, tdk perlu menunggu cinta sebesar naga, cukup niat ibadah bersamanya

40. Cari satu yg terbaik, dr sekian putri yg baik. Anda mencari calon ibu, bukan model yg dipajang di etalase rumahmu kan?

41. Pilih yg kualitas nya bagus, bukan hanya disisi penampilan saja, tapi cara dia menjadi ibu bagi anak anakmu kelak.

42. Utk para putri, carilah pangeran yg bisa jadi imam keluarga dan imam solat, krn lucu kalo kamu yg jadi imam dan dia makmum krn br iqro satu.

43. Pangeran yg bisa duduk di depanmu dan mengajarkan agama. Tahsin atau fikih, hadits atau quran

44. Pangeran yg bisa menjaga hapalanmu, menguatkan azzam(keinginan) jihadmu dan melindungi harimu.

45. Semoga segera dipertemukan bagi yg mencari pangeran, dan bagi yg mencari putri solihah.

Cinta bisa datang dari mana?

1. Dari sering retweet dan mention di twitter juga bisa. Pertama biasa, lama lama kok jadi suka ya?

2. Cinta juga bs muncul karena seringnya komen komenan di fb. Pake emoticon genit, jempol hingga love! 

3. Cinta juga bisa muncul karena sering ngasih nasihat via sms. Yg akhwat nanya, yg ikhwan ngejawab. Klop. Trup sayang sayangan.

4. Cinta juga bisa muncul dari seringnya rapat koordinasi di sekretariat. Meski ditutup hijab kain, tapi rasa itu menyelinap pelan.

5. Cinta juga bisa muncul saat mendengarkan dia ngisi tausiah. Pertama suka isiannya, lama lama suka ama orangnya.

6. Cinta juga bisa muncul saat mendengar dia baca quran tartil, tajwid yg mantab bisa bikin hatinya meleleh.

7. Cinta bisa muncul karena sering we chat an. Sering kakao talk an. Sering whats app an. Sharing foto, gambar, suara bahkan video.

8. Cinta muncul saat cinta pada Allah tumpul. Kedekatan sama Allah kendur, maka diisi cinta pd lawan jenis yang menggalaukan hati.

9. Maka mencintailah di saat yg tepat, pada orang yg tepat dan dengan cara yg tepat.

10. Cinta yg dimulai secara halal, melalui pernikahan, dan tumbuh dalam keberkahan dalam rumahtangga sakinah mawadah wa rahmah.

Doa ketika dipuji orang lain

Kita perlu hati-hati ketika dipuji orang karena pujian ini bisa membuat diri kita semakin ujub dan sombong. Oleh karenanya, sahabat yang mulia Abu Bakr Ash Shiddiq, yang terbaik setelah Rasul kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun berdo’a pada Allah agar dirinya lebih baik dari pujian tersebut. Ia pun meminta pada Allah agar tidak disiksa karena sebab pujian tersebut. Karena Allah lebih tahu isi hati kita, juga diri kita lebih tahu lemahnya diri kita dibanding orang lain. Jadi jangan terlalu merasa takjub dengan sanjungan orang apalagi diucapkan di hadapan kita.
Yang Diucap Oleh Abu Bakr
Ketika dipuji, Abu Bakr berdo’a,
Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.
[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] ( Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228, no.4876. Lihat Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah)
Sebagaimana disebutkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Al Auza’i mengatakan bahwa ketika seseorang dipuji oleh orang lain di hadapan  wajahnya, maka hendaklah ia mengucapkan do’a di atas.
Disebutkan pula oleh sebagian salaf bahwa jika seseorang dipuji di hadapannya, maka hendaklah ia bertaubat darinya dengan mengucapkan do’a yang serupa. Hal ini disebutkan pula oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
Disebutkan pula dalam Adabul Mufrod karya Imam Al Bukhari mengenai hadits di atas ketika beliau sebutkan dalam Bab “Apa yang disebutkan oleh seseorang ketika ia disanjung.”
Begitu pula disebutkan dalam kitab Hilyatul Awliya’ karya Abu Na’im Al Asbahaniy bahwa ketika seseorang dipuji di hadapannya, hendaklah ia mengingkari, marah dan tidak menyukainya, ditambah membaca do’a di atas.
Ringkasnya, do’a di atas telah menjadi amalan para salaf sebagai suri tauladan yang baik bagi kita dalam beramal.
Hati-Hati dengan Rusaknya Amal
Hal di atas bukan hanya dilakukan oleh Abu Bakr, namun para salaf secara umum. Mereka tidak suka akan pujian. Karena mereka khawatir amalan mereka jadi terhapus karena selalu mengharap pujian.
Dalam hadits qudsi disebutkan,
Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).
Hati-hati pula dengan sifat ujub, yaitu takjub pada diri sendiri. Dalam hadits yang ma’ruf disebutkan,
Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri sendiri).” (HR. Abdur Rozaq 11: 304. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ 3039).
Ujub juga tidak merealisasikan ‘iyyaka nasta’in’ (Hanya kepada Allah kita mohon pertolongan). Karena ia merasa dirinya-lah yang berbuat.
Ditambah ujub pun dapat merusak amalan kebaikan. Sebagian ulama salaf, di antaranya Sa’id bin Jubair berkata,
Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia malah merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkan ia masuk neraka. Ada pula yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk surga.” (Majmu’ Al Fatawa, 10: 294)

Ya Allah, bersihkanlah diri kami dari sifat tidak ikhlas dan merasa takjub pada diri sendiri. Jadikanlah kami lebih baik daripada yang mereka nilai dan janganlah siksa kami karena pujian mereka.


Diam yang Menyelamatkan

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])
Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (Syarh Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di atas muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lisan.” (HR. ath-Thabrani)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani)
al-Laits bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 37)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38)

Sebagian orang bijak mengatakan dalam syairnya:
Kita mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita
Tidaklah ada aib di masa kita kecuali kita
Kita mencerca masa, padahal dia tak berdosa
Seandainya masa bicara, niscaya dia lah yang ‘kan mencerca kita
Agama kita adalah pura-pura dan riya’ belaka
Kita kelabui orang-orang yang melihat kita
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung dengannya.” (HR. Bukhari)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman radhiyallahu’anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR. Abdurrazzaq)
al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62).

Wallahul musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.




Bertekad sudah dinilai kebaikan

Sebagian kita barangkali belum mengetahui bahwasanya dengan niatan saja untuk beramal (maksudnya: tekad) kuat namun tidak jadi mengamalkan karena suatu sebab, itu sudah bernilai pahala dan dicatat satu kebaikan. Bagaimana halnya jika sampai diamalkan. Hal ini menunjukkan bahwa hendaklah kita bersemangat dalam kebaikan, bahkan bertekad kuat untuk melakukan banyak amalan sholih.
Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, diriwayatkan dari Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ
Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.” (HR. Bukhari no. 6491 dan Muslim no. 130)
Ibnu Rajab Al Hambali berkata, “Yang dimaksud ‘hamm’ (bertekad) dalam hadits di atas adalah bertekad kuat yaitu bersemangat ingin melakukan amalan tersebut. Jadi niatan tersebut bukan hanya angan-angan yang jadi pudar tanpa ada tekad dan semangat.”(Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 319)
Perihal bertekad dalam beramal di sini, kita dapat melihat pada hadits lainnya,
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
Barangsiapa yang berdo’a pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1908).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ
Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan shalat malam, namun ketiduran mengalahkannya, maka Allah tetap mencatat pahala shalat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An Nasai no. 1784, shahih menurut Syaikh Al Albani).
Abud Darda’ berkata, “Barangsiapa mendatangi ranjangnya, lantas ia berniat ingin shalat malam. Sayangnya, tidur telah mengalahkannya hingga ia bangun ketika shubuh, maka akan dicatat sebagai kebaikan apa yang ia niatkan.” (HR. Ibnu Majah secara marfu’. Ad Daruquthni berkata bahwa hadits ini mawquf. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 319). Perkataan Abud Darda’ ini semakna dengan hadits ‘Aisyah di atas.
Sa’id bin Al Musayyib berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umrah atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”
Abu ‘Imran Al Juwani berkata, “Malaikat pernah berseru: catatlah bagi si fulan amalan ini dan itu.” Lantas ia berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya si fulan tidak beramal apa-apa.” Lantas dijawab, “Ia mendapatkan yang ia niatkan (tekadkan).”
Ulama salaf berkata, “Bertekad untuk melakukan kebaikan sudah seperti orang yang melakukannya.”
Hadits berikut pun bisa jadi renungan bahwasanya setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan walau ia tidak sampai beramal asal sudah punya tekad yang kuat untuk beramal. Dari Abu Kabsyah Al Anmariy, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dunia telah diberikan pada empat orang:
Orang pertama, diberikan rizki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan.
Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah namun tidak diberi rizki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi ia punya niat yang kuat (tekad) sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti  si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama.
Orang ketiga, diberikan rizki oleh Allah berupa harta namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu, ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan.
Orang keempat, tidak diberikan rizki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325, shahih kata Syaikh Al Albani).
Moga pelajaran ini begitu berharga. Dengan niatan saja, bisa bernilai kebaikan. Namun ingat sekali lagi, niatan di sini adalah tekad bukan angan-angan. Sehingga 1000 angan-angan tidaklah bermanfaat karena tidak ada realisasi atau tidak ada langkah menuju kepada kebaikan. Berbeda halnya dengan tekad dalam kebaikan, pasti ada persiapan dan langkah yang ingin ditempuh. Silakan kembali memperhatikan penjelasan Ibnu Rajab di atas.


Berdakwah sesuai dengan kemampuan

Setiap kita punya kewajiban untuk berdakwah. Harus ada yang menunaikannya di suatu negeri. Jika tidak ada yang menunaikan dakwah, maka semuanya berdosa. Jika sudah ada yang menunaikan, maka yang lain gugur kewajibannya. Namun dakwah di sini sesuai kemampuan. Karena demikianlah yang namanya kewajiban. Para ulama memberikan kaedah, “Kewajiban itu tergantung pada kemampuan”. Demikianlah dalam dakwah.
Perintah untuk Berdakwah
Dakwah itu adalah suatu kewajiban. Jika sebagian telah menunaikannya, maka gugur bagi yang lainnya. Kata Ibnu Taimiyahrahimahullah dalam risalah beliau yang penuh faedah,
Para salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya, begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasulnya perintahkan tercapai (Lihat risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penjelasan firman Allah: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnaas dalam Al Majmu’atul ‘Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama,, Muharram, 1422, hal. 62-63).
Mengenai perintah untuk berdakwah sekaligus keutamaannya dijelaskan dalam ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imron: 110).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33).
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17).
Berdakwah Sesuai Kemampuan
Para ulama memberikan kaedah, “Kewajiban itu berkaitan dengan kemampuan”. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyahrahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa (3: 312),
وَأَمَّا مَا يَجِبُ عَلَى أَعْيَانِهِمْ فَهَذَا يَتَنَوَّعُ بِتَنَوُّعِ قَدْرِهِمْ وَمَعْرِفَتِهِمْ وَحَاجَتِهِمْ
Kewajiban yang mengenai individu itu bertingkat sesuai pada kemampuan, tingkat ma’rifah (pengenalan) dan kebutuhan”
Kaedah di atas didukung oleh dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286).
لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al A’rof: 42).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj: 78).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Dan apa yang diperintahkan bagi kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337).
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan hatinya. Ini menunjukkan serendah-rendahnya iman” (HR. Muslim no. 49).
Nasehat Ibnu Taimiyah
يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقُومَ مِنْ الدَّعْوَةِ بِمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ غَيْرُهُ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُهُ سَقَطَ عَنْهُ وَمَا عَجَزَ لَمْ يُطَالَبْ بِهِ . وَأَمَّا مَا لَمْ يَقُمْ بِهِ غَيْرُهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَقُومَ بِهِ
Setiap orang dari umat ini punya kewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai kemampuannya. Jika sudah ada yang berdakwah, maka gugurlah kewajiban yang lain. Jika tidak mampu berdakwah, maka tidak terkena kewajiban karena kewajiban dilihat dari kemampuan. Jika tidak ada yang berdakwah padahal ada yang mampu, maka ia terkena kewajiban untuk berdakwah” (Majmu’ Al Fatawa, 15: 166).
فَإِذَا قَوِيَ أَهْلُ الْفُجُورِ حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُمْ إصْغَاءٌ إلَى الْبِرِّ ؛ بَلْ يُؤْذُونَ النَّاهِيَ لِغَلَبَةِ الشُّحِّ وَالْهَوَى وَالْعُجْبِ سَقَطَ التَّغْيِيرُ بِاللِّسَانِ فِي هَذِهِ الْحَالِ وَبَقِيَ بِالْقَلْبِ
Jika pelaku maksiat sudah semakin keras kepala dan tidak mau berubah menjadi baik, bahkan jadi menyakiti orang yang melarang dari kemungkaran, maka gugurlah kewajiban mengingkari kemungkaran dengan lisan dalam kondisi seperti ini. Namun tetap punya kewajiban mengingkari kemungkaran dengan hati” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 110).
أن من كان في دار الكفر وقد آمن وهو عاجز عن الهجرة لا يجب عليه من الشرائع ما يعجز عنها بل الوجوب بحسب الإمكان
Siapa yang berada di negeri kafir dan ia telah merasa aman (untuk menjaga agamanya, pen), namun ia sulit untuk berhijrah (ke negeri Islam), maka tidak wajib baginya melakukan hal yang ia tidak mampu. Yang ia mampu saja yang ia lakukan” (Minhajus Sunnah, 5: 122).
Ada pula faedah dari perkataan Ibnu Taimiyah di mana kita boleh saja mengakhirkan suatu penjelasan pada umat kala mereka belum bisa menerima di awal-awal dakwah. Kata beliau rahimahullah,
قَدْ يُؤَخِّرُ الْبَيَانَ وَالْبَلَاغَ لِأَشْيَاءَ إلَى وَقْتِ التَّمَكُّنِ كَمَا أَخَّرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إنْزَالَ آيَاتٍ وَبَيَانَ أَحْكَامٍ إلَى وَقْتِ تَمَكُّنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا إلَى بَيَانِهَا
Suatu penjelasan dan dakwah pada suatu masalah bisa saja diakhirkan hingga waktu yang memungkinkan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengakhirkan turunnya ayat dan penjelasan hukum hingga waktu yang memungkinkan saat Rasul bisa menerima dan bisa menjelaskannya” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 59).
Semoga dengan sedikit penjelasan ini semakin menyemangati kita untuk berdakwah sesuai kemampuan kita. Semoga dengan mengenal keutamaan dakwah berikut ini kita semakin bersemangat.
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893). Bahkan pahala orang yang didakwahi tidak berkurang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga” (HR. Muslim no. 2674).
Dari Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا, لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ
Sesungguhnya para malaikat, serta semua penduduk langit-langit dan bumi, sampai semut-semut di sarangnya, mereka semua  bershalawat (mendoakan dan memintakan ampun) atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi no. 2685. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Berdakwah lewat pesan singkat

Sarana komunikasi saat ini sangat mudah menjadi sarana meraih pahala. Dengan handphone mungil, hanya dengan mengirim short message kepada kerabat ataushohib dekat berisi nasehat yang menyentuh qolbu, kita pun bisa meraih pahala. Nasehat tersebut bisa jadi kita dapatkan dari bacaan buku atau seorang ustadz dan tinggal kita forward pada nomor kontak lainnya. Ini tips mudah untuk mendapatkan pahala lewat dakwah pesan singkat, walau mungkin kita bukan seorang da’i, hanya sekedar pem-forward pesan.
Keutamaan Berdakwah
Sekedar nasehat sederhana, seperti ajakan shalat, penjelasan keutamaan suatu amalan, ajakan mengerjakan puasa sunnah, penjelasan perihal hukum Islam, bahaya keyakinan menyimpang dan amalan tanpa dasar, itu bisa menjadi pesan dakwah sederhana. Walau sederhana, namun kita bisa meraih pahala dari orang yang mengikuti ajakan kita. Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893). Bahkan pahala orang yang didakwahi tidak berkurang sebagaimana sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 2674)
Tanda umat terbaik adalah gemar mengajak pada kebaikan (ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (munkar) disertai beriman kepada Allah. Dalam suatu ayat disebutkan,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Para da’i juga adalah seorang yang memiliki perkataan yang baik dan mendapat sanjungan dari Allah Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33). Yang dimaksud dalam ayat ini kata Ibnu Katsir rahimahullah bukanlah orang yang hanya sekedar berdakwah atau mengajak orang lain untuk baik. Namun mereka yang mengajak juga termasuk orang yang mendapat petunjuk, lalu mengajak mengajak yang lain. Ia mengajak kepada kebaikan, namun ia pun mengamalkannya. Begitu pula ia melarang dari suatu kemungkaran, ia pun menjauhinya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 240)
Keutamaan lainnya, seorang da’i akan mendapat shalawat dari penduduk langit dan bumi. Dari Abu Umamah Al Bahiliradhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا, لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ
Sesungguhnya para malaikat, serta semua penduduk langit-langit dan bumi, sampai semut-semut di sarangnya, mereka semua  bershalawat (mendoakan dan memintakan ampun) atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2685. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Modal Dakwah
Berdakwah tidak bisa hanya asal-asalan, ada modal yang mesti dimiliki. Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ada tiga modal bagi setiap pengajak kebaikan dan pelarang kemungkaran. Modal tersebut adalah ilmu, lemah lembut dan sabar. Ilmu harus dimiliki di awal dakwah, lemah lembut harus ada di tengah-tengah memberi nasehat, dan sabar mesti ada di akhir karena barangkali ada gangguan atau hidayah belum kunjung datang pada orang yang kita dakwahi.
Tidak bisa seseorang berdakwah dengan asal-asalan tanpa didasari ilmu atau menyampaikan sesuatu yang tidak pernah dituntunkan oleh Islam (baca: bid’ah). Karena seringkali kami melihat sebagian orang menyebarkan amalan lewat SMS atau pesan BBM padahal amalan tersebut tidak diketahui dari hadits shahih ataukah dho’if (hadits lemah), hanya sekedar memforward, tanpa melakukan cek & ricek pada orang yang lebih berilmu. Ingat, dakwah itu termasuk ibadah. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,  “Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan kebaikan.”
Begitu pula dakwah mesti dengan lemah lembut, tidak bisa langsung dengan kekerasan atau kata-kata kasar karena dakwah seperti ini pasti akan membuat orang lain sulit menerima. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petuah berharga,
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ
Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia menyukai kelembutan dan Dia akan memberi kepada kelembutan yang tidak diberikan jika seseorang bersikap kasar.” (HR. Muslim no. 2593)
Setelah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran), haruslah ada sikap sabar terhadap setiap gangguan. Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka hanya akan membawa dampak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” Lukman pernah berkata pada anaknya,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ
Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Ambil Andil dalam Dakwah
Asal memiliki tiga bekal di atas, maka seseorang sudah boleh berdakwah. Sekali lagi dakwah yang ia serukan adalah dengan didasari ilmu, disertai sikap lemah lembut dan miliki sifat sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari no. 3461). Yang dimaksud dengan hadits ini adalah sampaikan kalimat yang bermanfaat, bisa jadi dari ayat Al Qur’an atau hadits (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 360). Asalkan yang disampaikan itu benar atau shahih, bukan ilmu atau amalan yang asal-asalan dan tanpa tuntunan (alias: bid’ah), maka sampaikanlah.
Sekarang Anda bisa memanfaatkan handphone Anda, BBM (Blackberry Messenger), atau jaringan sosial Anda di FB atau twitter untuk berdakwah dan mengisinya dengan hal-hal yang lebih manfaat bahkan bisa menuai pahala. Cobalah memanfaatkan sarana-sarana tadi melalui pesan singkat, memberi nasehat sederhana, ajakan untuk beramal atau penjelasan pada suatu hal yang mungkar. Nasehat yang ada saat ini bisa Anda peroleh dari buku bacaan, nasehat seorang ustadz atau dari tulisan di sebuah website yang Anda telusuri. Niscaya Anda pun bisa mendapatkan keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar. Tentu saja dakwah ini dimulai dengan amalan pada diri sendiri, memperbaiki diri hari demi hari dan mencerminkan akhlak yang mulia, sehingga orang yang kita ajak bisa tertarik pada dakwah kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga,
إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْن الْخُلُقِ
Sesungguhnya kalian tidak dapat menarik hati orang dengan harta kalian. Kalian hanya dapat membuat hati mereka tertarik dengan wajah berseri dan akhlak luhur kalian.” (HR. Al Bazzar dalam musnadnya dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya)
Ingatlah, tugas kita hanya menyampaikan sedangkan hidayah hanyalah datang dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashshash: 56)