Dari
Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah
yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.
Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara
yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])
Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa
para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang
membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
(HR. Bukhari)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang
lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang
tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya.
Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan
dilakukan dengannya.” (Syarh Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi
Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di atas muka
bumi ini sesuatu yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain
lisan.” (HR. ath-Thabrani)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai
Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau
pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah
yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya
tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani)
al-Laits bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika
orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya,
tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan
memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka
mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia
pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya
lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan
memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut,
hal. 32)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini
bukanlah masa untuk banyak berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam
dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum
al-Buyut, hal. 37)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya
kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan
orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang
lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi
as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38)
Sebagian
orang bijak mengatakan dalam syairnya:
Kita
mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita
Tidaklah
ada aib di masa kita kecuali kita
Kita
mencerca masa, padahal dia tak berdosa
Seandainya
masa bicara, niscaya dia lah yang ‘kan mencerca kita
Agama
kita adalah pura-pura dan riya’ belaka
Kita
kelabui orang-orang yang melihat kita
(lihat
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat itu, orang
yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik
daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari.
Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya.
Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung
dengannya.” (HR. Bukhari)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini
berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak
turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya
tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath
al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat
adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari
kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu
melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah
bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah
keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman
radhiyallahu’anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya,
“Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika
fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku.
Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah
menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR.
Abdurrazzaq)
al-Hasan
rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari
seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak
penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62).
Wallahul
musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
No comments:
Post a Comment