Ampunan Allah, sesuatu yang amat
diharapkan. Tak seorangpun melainkan mengharapkannya. Entah dia seorang ahli
ilmu, ahli ibadah, apalagi ahli maksiat.
Terlebih lagi bagi orang-orang yang
berusaha untuk menempuh jalan kembali kepada Allah dengan taubat. Banyak
rintangan dan hambatan yang harus ditemui. Sehingga hal itu menyebabkan seorang
hamba harus waspada, karena tatkala dia telah merasa taubatnya diterima,
kemudian -pada akhirnya- perasaan itu justru menyeret dirinya terjerumus ke
dalam lembah dosa yang lainnya, wal ‘iyadzu billah!
Ketahuilah saudaraku, bahwa tauhid
yang bersih merupakan kunci untuk meraih ampunan. Namun, hal ini tidaklah
sesederhana dan semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Meninggal di atas tauhid yang bersih
merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal ini terdapat perincian
sebagai berikut:
- Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya maka dia pasti masuk neraka.
- Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.
- Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan/dosanya justru lebih berat dalam timbangan maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allahta’ala berfirman, “Wahai
anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh
isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan
sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu
pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya)
Hadits yang agung ini menunjukkan
bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah ta’ala.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari
hal ini, “Ini adalahsyarat yang berat untuk bisa
mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalahharus bersih
dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa
selamat/bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah ta’ala.
Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang
artinya), “Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi
orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara:
88-89).” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal.
53-54)
Namun -sebagaimana sudah disinggung
di atas- keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih
tauhidnya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…Seandainya
ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan
sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka
Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun hal
itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena
sesungguhnya tauhid yang murni yaitu yang tidak tercemari oleh kesyirikan
apapun maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena ketauhidan semacam itu
telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan
kepada-Nya serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu
menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi
bumi. Najis yang datang sekedar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya
sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab
at-Tauhid, hal. 54-55)
Hadits di atas juga mengandung
keterangan bahwa kandungan makna la ilaha illallah yang bisa
lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Kandungan
maknanya yaitu wajib meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun
sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak
mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar
merealisasikan tauhidnya serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat
ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima,
tunduk patuh dan lain sebagainya yang menjadi konsekuensi kalimat yang agung
itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 22).
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran
maka dia tidak akan terus-menerus berkubang dalam
kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna
menghalangi dirinya dari terus-menerus berkubang dalam maksiat. Oleh sebab itu
dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang
langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21)
Hadits di atas juga menunjukkan
bahwa tauhid tidak cukup di lisan. Namun tauhid juga menuntut
seorang hamba untuk menunaikan kewajiban serta meninggalkan kemaksiatan.
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menerangkan bahwa
barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid- namun dia mencemarinya
dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia sekedar mengucapkannya dengan
lisan sementara hati atau amalannya berbuat syirik seperti halnya orang-orang
munafik maka orang semacam ini ucapan syahadatnya tidak bermanfaat. Akan tetapi
yang semestinya dia lakukan adalah mengucapkannya kemudian meyakininya dengan
kuat, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta
mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh
Kitab at-Tauhid, hal. 20).
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah juga
berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban atau melakukan
perkara yang dilarang maka itu berarti dia telah berani menawarkan dirinya
untuk menerima hukuman Allah ta’ala meskipun dia mengucapkan kalimat ini dan
meyakininya. Apabila dia melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya maka
berubahlah dia menjadi orang yang murtad dan kafir. Syahadat ini tidak lagi
bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu kalimat ini harus diwujudkan dalam
kenyataan dan mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak
demikian maka dia berada dalam bahaya besar seandainya dia tidak kunjung
bertaubat.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26).
Hadits di atas juga mengandung
motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib). Ini merupakan
motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan tauhidnya dari
kotoran syirik dan kemaksiatan, karena Allah menjanjikan ampunan yang
demikian besar bagi orang yang murni tauhidnya. Dan ini sekaligus menjadi
peringatan bagi orang-orang yang selama ini tenggelam dalam dosa dan
kemaksiatan agar waspada dan takut kalau-kalau ternyata di akhir hidupnya
mereka tidak tergolong orang yang bersih tauhidnya.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Seandainya Allah mau menyiksa manusia -di dunia- sebagai
hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas
muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu
untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang
saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS.
Fathir: 45). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya
adalah seandainya Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua dosa yang
mereka perbuat niscaya Allah akan menghancurkan semua penduduk bumi dan segala
binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/362])
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya para pelaku maksiat itu
sangat berresiko dijatuhi ancaman siksa dan mereka akan masuk ke neraka lalu
mereka akan dikeluarkan darinya dengan syafa’at para nabi dan yang lainnya. Hal
itu dikarenakan mereka telah melemahkan tauhid mereka dan mencemarinya dengan
kemaksiatan-kemaksiatan.” (Syarh
Kitab at-Tauhid, hal. 21).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
merealisasikan tauhid itu adalah denganmembersihkan dan memurnikannya dari
kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang
mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri
dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan
keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian
membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta
menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi
Maqashid at-Tauhid, hal. 20)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan
bahwa merealisasikan la ilaha illallah adalah
sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf
berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’.
Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku
untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’. Dan tidak ada
yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka
dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.
Oleh sebab itu, pernah ditanyakan
kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah
diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang
perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan
tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan
berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.
Oleh sebab itu, tatkala ada yang
mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu
yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu,
pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?’.
Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah
kejelasan iman’ (HR. Muslim). Artinya
hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian,
karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul
kecuali pada hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala
Kitab at-Tauhid [1/38])
Keikhlasan -yang hal ini merupakan
intisari dari ajaran tauhid- merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan
dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah
berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain
daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk
memuaskan hawa nafsunya.”(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).
Dan sesungguhnya ikhlas tidak akan
berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki
oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak
akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan
sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali
sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan
-musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah hamba Dinar! Celakalah
hamba Dirham! Celakalah hamba khamisah (sejenis kain)! Celakalah hamba khamilah
(sejenis model pakaian)! Apabila diberi dia merasa senang, dan apabila tidak
diberi maka dia murka. Celaka dan merugilah dia!” (HR. Bukhari).
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa sebagian manusia ada
yang cita-cita hidupnya hanya untuk mendapatkan dunia dan
perkara itulah yang paling dikejar olehnya. Itulah tujuan pertama dan terakhir
yang dicarinya. Maka kalau ada orang semacam ini niscaya akhir perjalanan
hidupnya adalah kebinasaan dan kerugian (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab
at-Tauhid, hal. 331).
Itulah sosok pengejar dunia, yang
rasa senang dan bencinya dikendalikan oleh hawa nafsunya (lihatal-Mulakhash
fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 241). Maka barangsiapa yang menjadikan dunia
sebagai puncak urusan dan akhir cita-citanya pada hakekatnya dia telah
mengangkatnya sebagai sesembahan tandingan bagi Allah ta’ala (lihat al-Jadid
fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 332)
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang telah
menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan?” (QS. al-Furqan: 43).
Syaikh Zaid bin Hadi
al-Madkhali hafizhahullah memberikan keterangan bahwa
sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada
Allah melainkan dia condong menujukan ibadahnya kepada selain Allah.
Memang, bisa jadi dia tidak tampak memuja/menyembah patung atau berhala. Atau
juga tidak tampak dia menyembah matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia
telah menyembah hawa nafsu yang telah menjajah hatinya dan memalingkan dirinya
sehingga tidak mau tunduk beribadah kepada Allah (lihat Thariq
al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pokok
munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana
yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sebagian manusia ada yang
menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana
kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam
cintanya kepada Allah.’ (QS. al-Baqarah: 165)…” (ad-Daa’ wa
ad-Dawaa’, hal. 212). Orang yang mencintai selain Allah -apa pun bentuknya-
sebagaimana kecintaannya kepada Allah, atau orang yang lebih mendahulukan
ketaatan kepada selain Allah daripada ketaatan kepada Allah maka sesungguhnya
orang tersebut telah terjerumus dalam syirik besar yang tidak akan diampuni oleh Allah jika pelakunya
tidak bertaubat darinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 96, lihat
juga al-Jadid, hal. 278)
Bahkan, karena terlalu berlebihan
kecintaannya kepada dunia maka sebagian orang tega menjadikan amal akherat
sebagai alat untuk menggapai ambisi-ambisi dunia semata! Secara fisik
mereka tampak mengejar pahala akherat, namun hatinya dipenuhi dengan
kecintaan kepada kesenangan dunia yang hanya sesaat. Subhanallah…
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Barangsiapa yang
menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan untuk
mereka balasan atas amal-amal mereka di dalamnya sedangkan mereka tidak dirugikan.
Mereka itulah orang-orang yang tidak akan mendapatkan balasan apa-apa di
akherat selain neraka dan akan hapuslah semua amal yang mereka kerjakan dan
sia-sialah apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa
beramal soleh semata-mata untuk menggapai kesenangan dunia -tanpa ada keinginan
untuk memperoleh balasan akherat atau balasan yang dijanjikan Allah- termasuk
kategori kesyirikan, bertentangan dengan kesempurnaan tauhid, bahkan menyebabkan terhapusnya pahala amalan (lihat al-Mulakhash
fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 238)
Nas’alullahat taufiq was salamah…'
No comments:
Post a Comment