Tawakkal
adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan
kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun
akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa
kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi
dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada
Allah, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
Makna
Bertawakkal Kepada Allah
Banyak
di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah
Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan
kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul
Qadir, 5/311).
Ibnu
‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya
sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti
memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.”
Al
Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho
kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah
bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh
kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara
keseluruhan.”
Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan
pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”
Mendapatkan
Kebaikan dan Menghindari Kerusakan
Ibnul
Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan
seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang
menindas serta memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh untuk
menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai
pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan
Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu
tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
Bukti
yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat dalam
kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa
ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau
mengatakan, “HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Allah menjadi
penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah
yang diungkapkan oleh Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika
dikatakan kepada beliau, Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk
memerangimu, maka waspadalah engkau terhadap mereka.” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam bab Tafsir.
Lihat Fathul Bari VIII/77)
Ibnu
Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika
ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami
dan Allah sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)
Bertawakkal
Kepada Allah Adalah Kunci Rizki
Rosululloh
ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi
rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Dalam
hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal
kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana
tidak, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak
pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah
Subhanahu Wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah berfirman yang artinya, “Dan
barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3).
Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya
dari segala sesuatu yang membuat sempit manusia.”
Tawakkal
Bukan Berarti Tidak Berusaha
Mewujudkan
Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya
untuk berusaha sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan
bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala.
Sebagian
orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah
itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan.
Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang
dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang
hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang
bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk
mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki
sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu.
Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat
bergantung.
Imam
Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau
di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku
datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang
tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi
ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah
menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’.
Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya
kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang
sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi).
Kalau
kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal itu tampak
dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Imam Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu
letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak bertentangan
dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seseorang meyakini bahwa rizki
itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena
takdir-Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”
(Murqatul Mafatih, 5/157)
Diantara
yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan
usaha adalah sebuah hadits.
Seseorang berkata kepada Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Aku
lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah
kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al
Albani dalam Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i
disebutkan bahwa Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhu berkata, “Aku
bertanya, ‘Wahai Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku
berTawakkal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku
bertawakkal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakkallah kepada
Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,
1/368)
Tawakkal
tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh
dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh
menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus
meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah
dari Dia semata.
No comments:
Post a Comment